Would you like to make this site your homepage? It's fast and easy...
Yes, Please make this my home page!
Ustadz,
ana yang awam ini ingin bertanya:
- Batalkah wudlu
kita apabila melihat maksiat?
- Bagaimana
hukumnya habis / selesai shalat tidak berdzikir?
Atas jawabannya,
ana ucapkan jazakallahu khairan.
(Az-Zahra, Palu)
|
Jawaban 1:
Jawaban 1:
Ananda Zahra, pertanyaan ananda kami jawab sebagai berikut:
- Wudlu tidaklah batal hanya dengan melihat maksiat,
karena maksiat bukanlah pembatal wudlu.
- Berdzikir setelah shalat wajib hukumnya adalah sunnah,
bukan wajib. Barangsiapa yang ingin melakukannya, berarti ia mengamalkan sunnah
dan barangsiapa yang meninggalkannya, tidak ada dosa baginya. Akan tetapi
yang afdhal baginya ialah mengamalkannya, karena berdzikir setelah
shalat wajib adalah amalan yang selalu dilakukan Rasulullah shallallahu
`alaihi wa sallam, sebagaimana yang dijelaskan di dalam riwayat Bukhari
dan Muslim dari Al-Mughirah bin Syu'bah radliyallahu `anhu.
Dan barangsiapa yang tidak berdzikir hendaklah ia tidak berdiri kecuali bila
imam sudah berbalik dariarah kiblat menghadap makmumnya. Demikian yang dijelaskan
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah di dalam Majmu' Fatawa
22/505 dan dinukil oleh Syaikh Masyhur Hasan Salman di dalam kitabnya Al-Qaulul
Mubin fiAkhtha'il Mushallin, hal. 297-298.
Wallahu a`lam.
Ana yang
masih awam dalam hal Dien ini ingin menanyakan kepada Ustadz beberapa
hal yang ingin sekali ana ketahui dengan disertai dalil-dalilnya:
Sahkah shalat
malam apabila tidak cukup 11 rakaat?
Ana pernah
membaca tentang makruhnya menahan kentut ketika shalat. Namun ada orang
yang mengatakan boleh karena itu merupakan penyakit. Ana mohon penjelasan
dari Ustadz.
Apakah ada
dzikir dalam shalat malam pada setiap selesai dua rakaat?
Bagaimana
tatacara menjama' shalat bagi musafir? Apakah ada shalat sunnahnya?
Dan apakah ada dzikirnya?
Bagaimana
hukum jual beli dengan non muslim, dan bagaimana kaitannya dengan al-wala'
wal bara' yang sesungguhnya?
Atas perhatian
dan jawaban Ustadz ana ucapkan jazakallahu khairan.
(Aisyah, Sulteng)
|
Jawaban 2:
Ananda Aisyah, pertanyaan-pertanyaan yang ananda ajukan,
kami jawab pada poin-poin berikut ini:
Melakukan shalat malam boleh saja tidak sampai 11
rakaat dan sah shalatnya, walaupun hanya melakukan satu rakaat shalat witir.
Demikian yang dijelaskan Syaikh Al-Albani dalam kitab beliau Shalatut Tarawih
hal. 83-84 dan Qiyamu Ramadlan hal. 22-23 dengan dalil perbuatan Rasulullah
shallallahu `alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ahmad
dan selain keduanya dengan sanad yang shahih dari Aisyah radliyallahu
`anha, dan juga dengan sabda Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam:
"Witir itu adalah haq. Barangsiapa yang ingin melakukannya, hendaklah
ia witir sebanyak lima rakaat dan barangsiapa yang ingin hendaklah ia witir
tiga rakaat, dan barangsiapa yang ingin hendaklah ia witir satu rakaat."
(HR. At-Thahawi dan Al-Hakim serta selain keduanya dengan sanad yang shahih)
Menahan kentut / buang angin adalah hal yang dilarang
dilakukan dalam shalat, karena hal ini termasuk dalam sabda Rasulullah shallallahu
`alaihi wa sallam:
"Tidak boleh shalat di hadapan makanan dan tidak boleh pula ketika didorong
oleh dua yang kotor (buang air besar dan kecil)." (HR. Muslim)
Bahkan di antara para ulama ada yang menyatakan tidak sahnya shalat dalam
keadaan demikian. Akan tetapi jumhur ulama menyatakan tetap sah walaupun dibenci
(makruh), karena hal tersebut menyebabkan hilangnya kekhususan di dalam shalat.
Dan menahan kentut, air besar dan air kecil boleh saja selama ketiganya tidak
mendorong untuk keluar, seperti hanya sekedar rasa tidak enak / nyaman pada
perut karena di dalam hadits disebutkan lafadh hadits yang maksudnya adanya
suatu dorongan untuk keluar. Demikian yang dijelaskan Al-Imam As-Shan`ani
di dalam Subulus Salam 1/288. Bahkan Imam Nawawi berpendapat
jika dikhawatirkan habisnya waktu shalat apabila didahulukan buang air besar
dan air kecil serta angin, maka hendaklah didahulukan shalatnya. Dan shalatnya
sah, namun hukumnya makruh. Orang yang shalat dalam keadaan menahan hal-hal
kotor tadi tetap mendapatkan pahala, namun tidak mencapai derajat orang-orang
mukmin yang beruntung, yaitu orang-orang yang khusyu' di dalam shalatnya.
(Lihat Taudhihul Ahkam 1/566)
Setiap selesai dari dua rakaat pada shalat malam,
tidak ada dzikir padanya, wallahu a`lam.
Seorang musafir dapat melakukan jama' takdim atau
ta'khir di dalam shalatnya dengan mengqasharnya. Dan tidak ada shalat sunnah
bagi seorang musafir kecuali shalat sunnah sebelum subuh dan shalat witir
karena Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkan
kedua shalat sunnah ini. (lihat Zadul Ma`ad 1/233)
Adapun tentang masalah dzikir, memang tidak ada antara satu shalat dengan
shalat lainnya yang akan dijama', karena riwayat-riwayat yang ada menjelaskan
bahwa Bilal radliyallahu `anhu langsung iqamat untuk shalat berikutnya
setelah selesainya mereka (para shahabat) dari shalat sebelumnya. Dan berdzikir
tetap disunnahkan apabila selesai dari menjama' kedua shalat, karena hingga
saat ini kami belum mendapatkan adanya riwayat yang menyatakan tidak adanya
dzikir setelah menjama' dua shalat.
Melakukan jual beli dengan orang-orang non muslim
adalah hal yang dibolehkan dan tidak termasuk hal yang merusak konsekwensi
al-wala' wal bara' yang harus dipegangi setiap muslim. Karena Rasulullah
shallallahu `alaihi wa sallam sebagai penegak bendera al-wala' wal
bara' juga berjual beli dengan seorang musyrik, sebagaimana dijelaskan
oleh Al-Imam Al-Bukhari di dalam Shahihnya bahwa Rasulullah
shallallahu `alaihi wa sallam membeli seekor kambing dari seorang lelaki
musyrik, dan imam Ahmad juga meriwayatkan di dalam Musnadnya
bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam mengambil 30 gantang
gandum dari seorang Yahudi dengan menggadaikan baju besi beliau. Kedua riwayat
ini menjelaskan kepada kita bahwa berjual beli dengan orang non muslim diperbolehkan
dalam Islam.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan: "Pada asalnya
tidak diharamkan bagi sesama manusia untuk melakukan muamalah yang mereka
butuhkan, kecuali apa-apa yang dijelaskan Al-Qur'an dan as-sunnah tentang
keharamannya." (Asy-Syar'iyyah hal. 155). Wallahu a`lam.
- Ustadz, ana
ingin bertanya: Apakah ada dalam sunnah Rasulullah shallallahu `alaihi
wa sallam ketika melayat orang yang meninggal dunia dengan membawa
beras dan sejenisnya? Atas termuat dan terjawabnya risalah ini ananda
ucapkan jazakallahu khairan.
(Irdah, Kuningan
|
Jawaban 3:
Ananda Irdah, yang dituntunkan di dalam sunnah Rasulullah
shallallahu `alaihi wa sallam ketika melayat orang yang meninggal dunia
bukanlah dengan membawa beras dan semisalnya, melainkan membuatkan makanan
untuk keluarga yang ditinggal si mayyat. Seperti yang pernah diperintahkan
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam ketika sampai berita bahwa
Ja'far bin Abu Thalib radliyallahu `anhu syahid di medan jihad. Beliau
menyatakan yang artinya : "Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja'far.
Sungguh telah datang satu perkara yang menyibukkan mereka, atau telah datang
kepada mereka hal-hal yang menyibukkan mereka." (Hadits shahih
riwayat Abud Dawud dan yang lainnya. Lihat Ahkamul Jana'iz hal.
211).
Wallahu a`lam.